Sekedar share, kalau keadaan muslim ahmadiyah di Indonesia di bandingan dgn di Pakistan belum seberapa, keadaan muslim ahmadiyah disana jauh lebih teraniaya karena hanya sebuah keyakinan.. Namun keimanan mereka tetap kokoh, meskipun rezim pemimpin2 negaranya yg bersatu padu dgn ulama2 yg ingin menghancurkan ahmadiyah banyak melakukan penganiayaan kepada orang2 ahmadiyah.
Berikut ini cuplikan dari buku A Man Of God yang diterjemahkan oleh
alm. A.Q. Khalid yang pada bab ini menceritakan kehancuran dari
penganiaya Ahmadiyah Jenderal Zia-Ul-Haq ( Pemerintah Pakistan thn 80an).
Seperti kita lihat dimedia-media saat ini nama Zia-Ul-Haq
disebut-sebut kembali terkait dengan kekerasan politik di Pakistan
sehubungan dengan berita terbunuhnya Benazir Bhutto.
BAB DUAPULUHSATU
TINDAKAN TUHAN
Khutbah Hazrat Khalifah tersebut direkam dan dalam waktu 24 jam,
salinannya telah dikirimkan ke semua Jemaat Ahmadiyah di seluruh
dunia. Khutbah itu direkam ulang dan didistribusikan lagi, lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Terjemahan dan salinannya juga
disebarkan luas.
Meskipun mubahalah itu sudah diumumkan, Hazrat Khalifah tetap
mengingatkan lagi Jendral Zia agar ia mau bertobat dan menghentikan
penganiayaannya terhadap Jemaat Ahmadiyah.
“Jika anda memang takut kepada Allah s.w.t. tetapi tidak mungkin
mengakui kesalahan anda karena posisi duniawi anda, sekurang-kurangnya
tariklah tangan anda dari kegiatan tirani dan penindasan para Ahmadi
dan cukup anda berdiam diri saja. Dengan cara demikian kami akan
mengasumsikan bahwa anda telah menolak menerima tantangan mubahalah
dan kami akan berdoa kepada Allah s.w.t. agar anda diselamatkan dari
kemurkaan-Nya.”
Tetapi penganiayaan berlanjut terus. Kembali Hazrat Khalifah memohon
perpanjangan waktu. “Aku tidak ingin Pemimpin dari sebuah negeri
dengan mana kami ini terkait sebelumnya, menjadi sasaran dari
manifestasi kemurkaan Tuhan. Kalau itu sampai terjadi, maka berikutnya
akan diikuti dengan kemunculan manifestasi-manifestasi lain dari
kemurkaan samawi.”
Ada yang menyatakan bahwa mubahalah itu tidak akan berlaku karena Zia
tidak memaklumkan secara terbuka bahwa ia menerima tantangan tersebut
dan bahwa mubahalah tidak bisa dilakukan dengan sarana modern seperti
kaset rekaman audio dan selebaran yang dicetak, namun Hazrat Khalifah
tidak menghiraukan insinuasi demikian.
“Tidak perlu bagi seseorang untuk menerima tantangan itu secara
terbuka. Kedegilannya dalam sifat tirani dan penindasannya cukup
merupakan indikasi bahwa ia telah menerima tantangan tersebut. Dengan
demikian hanya tinggal waktu saja yang akan memberitahukan seberapa
sombongnya ia dalam menentang Tuhan.”
Allah s.w.t. mengerti arti dari kebungkaman salah satu pihak yang
dimaksud, ujar beliau.
Mubahalah itu tidak saja ditujukan kepada Zia tetapi juga kepada
mereka yang secara aktif membantunya dalam penindasan Jemaat. Ketika
selebaran yang memuat mubahalah itu dibagikan di sebuah kota kecil
Shahkote di distrik Shaikhupura di Pakistan, seorang tukang emas
(kamasan) bernama Ashiq Hussain yang selama ini selalu mengorganisir
gerombolan yang melempari para Ahmadi dengan batu, berniat
mengorganisir demonstrasi dalam skala besar.
Kali ini bukan hanya batu, katanya, tetapi juga mubahalah bagi para
Ahmadi. Memperhatikan toko-toko mereka yang telah dirampok dan
dibakar, ternak mereka yang sudah sama mati dan para Ahmadi di distrik
itu sudah mati atau melarikan diri, menurutnya gampang sekali untuk
melihat di sisi siapa Tuhan berada.
Setelah mempersiapkan gerombolannya, Ashiq Hussain si tukang emas itu
masuk ke warungnya untuk mengambil beberapa pisau. Ia memutar tombol
kipas angin otomatis
yang biasa dipakainya setiap hari – dan ia langsung jatuh mati.
Ia mati tersengat aliran listrik.
Kerusuhan yang potensial itu jadi batal. Gerombolan yang semula
berencana mengejar orang-orang Ahmadi berganti menjadi iringan
penguburan tokoh mereka itu.
Di Inggris seorang musuh Jemaat yang terkenal telah menerima tantangan
mubahalah tersebut. Tidak lama kemudian ia mati dalam kecelakaan
mobil. Ketika mereka yang melayat berkumpul di rumahnya, lantai rumah
itu runtuh amblas ke ruang bawah tanah. Banyak dari mereka yang
menderita luka-luka.
Seorang ulama Muslim mengatakan bahwa ia menerima tantangan tersebut
tetapi dalam pidatonya yang panjang lebar, tidak sekali pun ia
menggunakan kata mubahalah. Sebaliknya ia menyebut munazarra yang
berarti perdebatan dan bukan tantangan yang disertai permohonan kepada
Allah s.w.t. untuk mengutuk mereka yang berdusta.
Ulama-ulama Muslim lainnya mengusulkan bermacam pertandingan yang
konyol seperti terjun ke sungai, terjun ke api menyala, lompat dari
gedung tinggi. Mereka semuanya mensyaratkan bahwa Hazrat Khalifah
Keempat harus muncul sendiri pada saat yang mereka akan tentukan,
kalau tidak mereka akan mengumumkan bahwa merekalah yang telah menang.
Yang lainnya lagi mengumumkan tantangan tetapi tidak mengirimkannya
kepada Jemaat Ahmadiyah, dan yang lainnya menantang tetapi tidak
meminta Tuhan untuk mengutuk siapa di antara mereka yang berdusta, dan
hanya meminta supaya kaum Ahmadi saja yang dikutuk.
Tetap saja Zia membungkam tidak bersuara.
Dalam khutbah tanggal 12 Agustus, Hazrat Khalifah menyatakan bahwa
Jendral Zia tidak menunjukkan tandatanda bertobat, baik dalam
perkataan atau pun perbuatan. Maka Allah s.w.t. sekarang akan
bertindak, kata beliau.
“Anda tidak akan mungkin menghindar dari hukuman-Nya,” demikian
pernyataan beliau.
Tidak ada lagi jalan untuk kembali.
Lima hari kemudian pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1988, B. A. Rafiq
Sahib, mantan Imam Mesjid London, meninggalkan sebuah pesan tertulis
untuk Hazrat Khalifah. Di dalam pesan itu ia menceritakan mimpi yang
dilihatnya malam sebelumnya. Dalam mimpi itu ia bertemu Zia dan ia
menyampaikan bahwa Hazrat Khalifah tidak menginginkan kemudharatan
baginya. Zia katanya mengulurkan tangan ke dagunya dan telah mendorong
mukanya dengan kasar. Zia mengacungkan jarinya ke arah Rafiq Sahib dan
menggeram. Jarinya bergoyang dan ia mengatakan `Aku akan memberinya
pelajaran.’
Hazrat Khalifah menjawab kepada Rafiq Sahib bahwa Jendral Zia tidak
akan memperbaiki kelakuannya. Keangkara-murkaannya akan
bertambah-tambah. “Semoga Allah s.w.t. menggagalkan rencana
musuh-musuh Jemaat,” beliau menambahkan.
Beberapa jam kemudian, pesawat Hercules C-130 yang membawa Jendral
Zia-ul-Haq, diktator Pakistan dan penindas Jemaat Ahmadiyah, telah
meledak di udara.
Saat itu jam 15:46 ketika pesawat keperesidenan itu tinggal landas
dari pangkalan udara militer di luar kota
Bahawalpur di tenggara Pakistan. Pagi itu secara rahasia ia terbang ke
sana atas permintaan Mayor Jendral Mahmud Durani, mantan sekertaris
militernya yang sekarang menjadi komandan Korps Kavaleri berlapis
baja. Hampir semua komandan angkatan darat akan hadir untuk melihat
percobaan sebuah tank Amerika Serikat yang baru, kata
Durani, dan kalau Zia tidak hadir dikhawatirkan akan dipandang sebagai
tindak meremehkan Amerika Serikat.
Percobaan tank itu merupakan kegagalan karena tank tersebut meleset
dalam menembak sasarannya, namun Zia masih tetap kelihatan gembira
ketika makan siang di mess perwira. Setelah makan siang ia berjalan ke
arah landasan udara dimana berada pesawat kepresidenan, Pak One, yang
dijaga dengan ketat. Zia lalu sujud menghadap Mekah dan kemudian
merangkul para jendral yang tinggal untuk kemudian melangkah masuk
pesawat.
Dalam pesawat C-130 itu ada sebuah `kapsul’ ruang penumpang
berpengatur udara (A.C.) dan di bagian depan yang merupakan bagian VIP
duduklah Jendral Zia beserta Jendral Akhtar Abdul Rehman, Kepala Staf
Angkatan Bersenjata, yang merupakan orang kedua paling berkuasa di
Pakistan. Di sisi mereka duduk duta besar Amerika Serikat, Arnold L.
Raphael dan pemimpin missi militer USA di Pakistan yaitu Jendral
Herbert M.Wassom. Di belakang mereka duduk delapan orang jendral
Pakistan lainnya.
Sebuah pesawat keamanan Cessna menyelesaikan penerbangan penelitian
daerah sekeliling, sebuah penjagaan normal karena enam tahun yang lalu
ada yang berusaha menembak jatuh pesawat presiden dengan peluru
kendali pencari panas – dan menara pengawas kemudian memberikan izin
Pak One untuk mengudara.
Setelah pesawat itu mengudara, petugas menara pengawas menanyakan
pilot tentang posisinya dan pilot itu menjawab: “Pak One, siap.”
Selanjutnya tidak ada lagi kontak dari pesawat kepresidenan. Hanya
beberapa menit setelah lepas landas, pesawat itu tidak diketahui lagi
keberadaannya.
Sekitar sepuluh kilometer dari tempat itu, beberapa petani yang sedang
menggarap ladangnya melihat sebuah pesawat melayang di langit seperti
kereta gantung (roller coaster). Setelah pusingan ketiga, pesawat itu
menukik tajam ke tanah dan terkubur dalam tanah berpasir. Pesawat
meledak menjadi bola api. Semua 31 penumpang di dalamnya mati seketika
atau mungkin juga sebelumnya.
Saat itu menunjukkan 15:51. Jadi hanya lima menit setelah pesawat
mengudara.
Allah s.w.t. telah memberikan keputusan-Nya, kata Hazrat Khalifah
dalam khutbah Jumat keesokan harinya.
Beliau telah mengingatkan Zia tentang kemurkaan Allah s.w.t. tetapi
yang bersangkutan tidak menggubris. Karena itu Tuhan telah
menghancurkannya secara total. Tuhan juga telah menghancurkan para
jendral yang telah membantunya dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Tidaklah pantas kita bergembira atas kematian seorang musuh sekalipun,
demikian kata Hazrat Khalifah. Karena itu beliau mengirim ucapan bela
sungkawa kepada keluarga Jendral Zia.
Beliau melanjutkan, “Kita tidak mengingkari bahwa para Ahmadi di
seluruh dunia sekarang ini gembira dan berbahagia. Bukan karena
seseorang telah mati. Mereka gembira karena mereka telah menyaksikan
kemenangan Allah s.w.t.
“Pertanda itu menggambarkan bantuan samawi yang telah diberikan Allah
s.w.t. kepada kita. Di masa depan, generasi yang akan datang akan
selalu mengingat dengan rasa kebanggaan bagaimana Allah s.w.t. telah
datang membantu nenek moyang mereka.”
Banyak dari mereka yang non-Ahmadi sependapat dengan pernyataan
beliau. Salah seorang di antaranya adalah Benazir Bhutto, putri dari
Zulfikar Ali Bhutto perdana menteri yang digulingkan dan dihukum
gantung oleh Zia. “Kematian Zia pasti merupakan tindakan Tuhan,” kata
Benazir Bhutto.
Jurnalis harian Financial Times dari London, Christian Lamb,
melaporkan mengenai kematian Zia, katanya “Kerumunan manusia di
Islamabad di sore yang cerah itu bisa disalahartikan sebagai
orang-orang yang sedang merayakan suatu pesta … dimana orang-orang
yang haus tontonan menikmati piknik di udara terbuka … Ketika peti
mati yang berisi sebutir gigi Zia (karena hanya gigi itu saja yang
berhasil ditemukan) diturunkan ke dalam liang lahat, salvo 21 senapan
berbunyi.”
Gigi yang selama ini menertawakan mubahalah sekarang terkubur dua
meter di bawah tanah, kata salah seorang Ahmadi.
Team yang memeriksa sebab kecelakaan pesawat, satu per satu melalui
analisis tehnis mengeliminer berbagai kemungkinan yang bisa menjadi
penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Di pesawat itu tidak ditemukan
bekas bom karena runtuhannya tidak tersebar ke bidang yang luas. Tidak
juga ditemukan bekas jejak peluru kendali pencari panas karena panas
yang ditimbulkan pasti memberi bekas pada panel almunium dari kulit
pesawat.
Juga tidak ada api di dalam pesawat karena dari otopsi Jendral Wassom,
kepala Missi Militer USA, ditemukan bahwa yang bersangkutan sudah mati
sebelum, bukan sesudah, adanya api yang ditimbulkan oleh kejatuhan
pesawat.
Tidak juga ada kegagalan mesin karena pemeriksaan menunjukkan bahwa
mesin itu sedang berputar dengan kecepatan penuh ketika pesawat
menghantam tanah.
Pemeriksaan bahan bakar juga tidak menunjukkan adanya kontaminasi
dengan bahan apa pun. Begitu pula kendali pesawat tidak ada
menunjukkan tanda-tanda telah disabotase. Hercules Pak One memiliki
tiga set kendali dan para peneliti tersebut sudah memastikan bahwa
semua kendali itu berada dalam keadaan laik jalan.
Satu-satunya kemungkinan yang tinggal adalah bisa jadi pilot, dan
barangkali semua penumpangnya, tiba-tiba kehilangan kesadaran.
Bagaimana hal ini bisa terjadi, para peneliti itu tidak bisa menjawab.
Mengapa hal itu terjadi, seluruh dunia mengetahuinya