@Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,
Assalamu alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.
SANGGAHAN BAGI IKHWAN YANG ANTI MAULID:
MASALAH PENDAPAT IBNU TAIMIYAH:
Pertama perlu dipahami bahwa Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang dijadikan rujukan utama oleh Sayaeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan pengikutnya yang oleh umat Islam di seluruh dunia disebut kelompok Wahhabi (maksudnya, kelomok pengikut Sayaeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab). Pendapat Ibnu Taimiyah sendiri TIDAK DIIKUTI oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia karena pemahaman beliau yang banyak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama Islam pada umumnya.
Dalam masalah memperingati Maulid Nabi SAW, bagi umat Islam yang mencintai Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi memperingati maulid, mereka mengajukan pendapat ibnu Taimiyah tentang maulid, dengan tujuan ingin ‘membandingkan pandapat Ibnu Taymiyyah’ ketika di komparasi dengan pendapat ulama yang memperbolehkan peringatan maulid. Yakni bukan berarti menjadi pengikut Ibnu Taimiyah. (mohon posisi ini dipahami dulu).
Selanjutnya, dalam memahami maksud Ibnu Taimiyah seputar masalah Peringatan Maulid, saya menyoroti tulisan Ibnu Taimiyyah yang menggunakan kata-kata QAD قد lalu masuk ke Fi’il Mudhari`. Dalam kaidah bahasa Arab, kata QAD قد yang masuk ke fi`il mudhari` berarti “terkadang/barangkali”.
Untuk mengetahui kesimpulan Ibnu Taimiyyah tentang maulid nabi tentunya kita harus membaca buku beliau secara keseluruhan, baik bukunya Iqthidaa Ila Shiraathil Mustaqim atau selainnya. Di dalam kitabnya Majmu` Fatawa, Ibnu Taimiyyah mengupas permasalahan serupa dan ia mengatakan:
وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم
“Adapun mengadakan upacara peribadahan selain yang disayaari’atkan, seperti malam-malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau malam-malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau awal Jum’at bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Sayaawwal yang dinamakan oleh orang-orang jahil (bodoh) sebagai ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].
Di dalam buku iqthidaa ila shraatil mustaqim, ia juga menegaskan :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا
“Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita…”.
Komentar saya (@A.W.)
Saya tidak sependapat dengan kesimpulan yang kurang cermat memahami pembahasan Ibnu Taymiyyah. Yang benar, ibnu taymiyyah mengurai persoalan perayaan maulid dari aspek tradisi masayaarakat menjadikan hari kelahiran nabi SAW sebagai hari istimewa dengan mengadakan perayaan khusus yang di isi acara-acara tertentu dan terkadang mengandung kemungkaran sebagai ungkapan kecintaan terhadap Rasulullah SAW. Tradisi semacam ini tidak ditemukan pada masa Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa tabi’in. Dengan demikian tradisi ini adalah bid’ah. Demikianlah kesimpulan pendapat Ibnu Taymiyyah.
Memang sebenarnya, ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah tentang hukum PERAYAAN maulid Nabi SAW (sengaja saya gunakan huruf kapital agar dipahami bahwa yang saya maksud adalah hukum tradisi perayaan, bukan ‘peringatan maulid’ dengan cara pembacaan shalawat dan banyak kegiatan-kegiatan positif didalamnya).
Kelompok pertama menyatakan bid’ah. Termasuk dalam kelompok ini, Syeikh Ibnu Taymiyah. Mereka beralasan, bahwa tradisi perayaan ini tidak terdapat pada masa Rasul SAW dan para sahabat. Jika memang hari itu tergolong salah satu dari hari istimewa yang perlu dirayakan, niscaya Rasulullah SAW atau setidaknya para sahabat atau ulama salaf akan melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Taymiyyah sebagaimana dikutip oleh ikhwan yang yang anti maulid:
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا.
Sayangnya kutipan di atas hanya dikutip sepotong (tidak lengkap). Berikut saya kutip alur pembahasan Ibnu Taymiyyah mulai dari awal pembahasan, sehingga dapat kita tangkap maksud dari perkataan beliau sesungguhnya.
فصل:
قد تقدم أن العيد يكون اسمًا لنفس المكان ، ولنفس الزمان ، ولنفس الاجتماع . وهذه الثلاثة قد أحدث منها أشياء :
أما الزمان فثلاثة أنواع ، ويدخل فيها بعض بدع أعياد المكان والأفعال :
أحدها : يوم لم تعظمه الشريعة أصلًا ، ولم يكن له ذكر في السلف ولا جرى فيه ما يوجب تعظيمه : مثل أول خميس من رجب، وليلة تلك الجمعة التي تسمى الرغائب – الى أن قال – والصواب الذي عليه المحققون من أهل العلم : النهي عن إفراد هذا اليوم بالصوم ، وعن هذه الصلاة المحدثة ، وعن كل ما فيه تعظيم لهذا اليوم من صنعة الأطعمة ، وإظهار الزينة ، ونحو ذلك حتى يكون هذا اليوم بمنزلة غيره من الأيام ، وحتى لا يكون له مزية أصلًا وكذلك يوم آخر في وسط رجب ، يصلى فيه صلاة تسمى صلاة أم داود ، فإن تعظيم هذا اليوم لا أصل له في الشريعة أصلًا .
النوع الثاني: ما جرى فيه حادثة كما كان يجري في غيره ، من غير أن يوجب ذلك جعله موسمًا ، ولا كان السلف يعظمونه : كثامن عشر ذي الحجة الذي خطب النبي صلى الله عليه وسلم فيه بغدير خم – الى أن قال –
وكذلك ما يحدثه بعض الناس ، إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام ، وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم ، وتعظيمًا . والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد ، لا على البدع- من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا . مع اختلاف الناس في مولده . فإن هذا لم يفعله السلف ، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه لو كان خيرًا . ولو كان هذا خيرًا محضا ، أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .
Terjemah:
Fasal:
Telah berlalu keterangan bahwa sesunggunya I’d (perayaan) adalah nama dari tempat, masa, dan perkumpulan itu sendiri. Tiga hal ini, terdapat sesuatu didalamnya. Adapun (aspek) masa maka ada tiga macam, dan tercakup didalamnya beberapa bid’ah I’d dari aspek tempat dan perbuatan:
Pertama: Hari yang tidak diagungkan dalam syari’at Islam sama sekali, dan tidak disebutkan oleh para ulama salaf juga tidak terdapat sesuatu yang menuntut keagungan hari itu. Contohnya sebagaimana awal Kamis dari bulan Rajab, malam Jum’at dari bulan Rajab yang disebut dengan Roghoib. Yang benar sebagaimana pendapat para ulama yang tahqiq, larangan atas mengkhususkan hari ini dengan berpuasa dan shalat yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan larangan atas segala kegiatan yang mengagungkan hari ini sebagaimana membuat beberapa makanan, menampakkan hiasan, dan lain-lain, sehingga hari ini (seharusnya) tidak menjadi berbeda dengan hari-hari lainnya dan tidak memilki keistimewaan sama sekali. Demikian juga hari lain di pertengahan bulan Rajab, dengan melaksanakan shalat yang disebut dengan shalat Ummu Dawud. Maka sesungguhnya mengagungkan hari ini tidak ada dasar dalam syari’at Islam sama sekali.
Kedua: Peristiwa yang terjadi pada hari tertentu sebagaimana terjadi pada hari lainnya tanpa terdapat sesuatu yang menuntut untuk di peringati dan para ulama salaf tidak mengagungkannya, sebagaimana hari tgl 18 Dzul Hijjah dimana terdapat peristiwa khutbah Rasulullah SAW di Ghodir Khum. Demikian pula apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, adakalanya menyerupai orang-orang nasrani dalam peringatan kelahiran Nabi Isa AS, dan adakalanya karena kecintaannya kepada Nabi SAW serta mengagungkannya. Dan Allah SWT akan memberikan pahala atas kecintaan dan kesungguhan mereka tidak atas perbuatan bid’ahnya yaitu menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari perayaan (I’d) dengan berbagai macam model mayarakat dalam merayakan maulid. Maka sesungguhnya hal ini tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf meskipun terdapat sesuatu yang menutut untuk dilakukannya serta tidak adanya penghalang jika saja yang demikian itu tergolong kebaikan. Andai yang demikian ini murni perbuatan yang baik atau utama niscaya para ulama lebih berhak (merayakannya) daripada kita, kerena mereka lebih mencintai Rasulullah SAW dan lebih mengagungkan Rasulullah SAW daripada kita. Mereka lebih senang pada kebaikan daripada kita. (Akhir Terjemahan).
Dari alur pembahasan Ibnu Taymiyyah diatas, dapat dipahami bahwa, maksud yang beliau sampaikan adalah hukum menjadikan hari-hari tertentu sebgai tradisi perayaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan ulama salaf. Bukan bermaksud untuk menghukumi haramnya kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam perayaan itu, misalnya bershodaqoh, membaca shalawat, membaca dzikir dll. Untuk lebih jelasnya berikut keterangan dari Syekh Ali Mahfudh salah satu ulama Al-Azhar Kairo Mesir dalam kitab Al-Ibda’ Fi Madloril Intida’ beliau menulis:
الفصل الرابع في بدع المولد وأول من أحدثها: – الى أن قال -
ولا نزاع في أنها من البدع, إنما النزاع في حسنها وقبحها, فالقائلون بالمنع بنوه:
أولا على أنها لم يستحسنها السلف ولم يفعلوها, وما اشتملت عليه من الصدقات وجمع الناس للطعام لا يجعلها مشروعة, فإن إطعام الطعام إنما شرع في العيدين وأيام التشريق فإنه من السنن التي سنها رسول الله صلى اللله غليه وسلم للمسلمين كإعانة الفقراء بالإطعام في شهر رمضان فإنه من سنن الإسلام. وأما اتحاذ موسم فير هذه المواسم الشرغية فليس من السنة. – الى أن قال – وثانيها: ما اشتملت عليه هذه الموالد من المفاسد المحرمة والمكروهة.
Terjemahan:
Fasal ke empat didalam menjelaskan bid’ah maulid dan yang pertama kali memperingatinya.
Dan tidak ada perbedaan bahwa sesungguhnya maulid adalah tergolong bid’ah (tidak dijumpai pada masa Rasulullah SAW), akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kebaikannya (bid’ah hasanah) dan kejelekannya (bid’ah qobihah).
Maka ulama yang menyatakan melarang peringatan maulid, mereka berdasar pada:
Pertama: Sesungguhnya peringatan maulid tidak diangap baik oleh para ulama salaf dan mereka tidak pernah melaksanakannya. Adapun shadaqoh dan mengundang beberapa orang untuk makan yang terdapat dalam perayaan maulid, tidak dapat menjadikannya diberlakukan dalam ajaran Islam, karena sesunggunya tradisi perayaan dengan memberi makanan itu disyari’atkan pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha) dan hari Tasyriq yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW bagi kaum muslimin sebagaimana (tradisi) menolong orang-orang fakir dengan memberi makanan pada bulan Ramadlan, maka itu bagian dari ajaran dalam Islam. Sedangkan menjadikan tradisi peringatan selain tradisi-tradisi yang disyari’atkan ini maka bukan tergolong sunnah.(Lihat: Al-Ibda’ Fi Madloril Ibtida’. Hal. 250. Darul kutub 1422 H -2001 M).
Kelompok kedua berpendapat, bahwa peringatan maulid Nabi SAW diperbolehkan dan tergolong bid’ah hasanah (inovasi yang baik). Mereka beralasan bahwa, meskipun tradisi peringatan ini tidak pernah dijumpai pada masa Rasulullah SAW atau para ulama salaf, akan tetapi esensi dari peringatan ini adalah ungkapan kegembiraan dan rasa cinta kepada Rasulluah SAW yang kemudian diekspresikan dengan melakukan:
-bershodaqoh,
-membaca alqur’an,
-membaca shalawat,
-bertutur cerita sejarah Rasulullah SAW,
-membaca kasidah-kasidah pujian kepada Rasulullah SAW.
-dan amalan-amalan baik yang lain.
Intinya, esensi dari peringatan maulid itu adalah ekspresi kegembiraan dan rasa syukur atas lahirnya Rasulullah SAW dengan melakukan kegiatan-kegiatan ibadah bukan kemungkaran. Secara dalil, bershodaqoh, membaca AlQur’an, membaca shalawat adalah ibadah yang kapanpun bisa dilakukan, lebih2 jika dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas terlahirnya Rasulullah SAW. Para ulama dalam kelompok ini menyadari bahwa kecintaan kepada Rasulullah SAW, ungkapan rasa syukur dengan bershodaqoh dll, tidak hanya terikat dengan hari peringatan maulid, ungkapan rasa syukur dengan amal-amal kebajikan itu itu juga dipandang baik dan dianjurkan sepanjang waktu diluar hari peringatan maulid .
Oleh karenanya, sesungguhnya pendapat dua kelompok ini secara substansi tidak ada perbedaan. Kelompok pertama melarang peringatan maulid karena meilhat pada keyakinan yang berkembang di sebagian masyarakat dengan menjadikan hari itu sebagai hari istimewa yang dianjurkan dalam syari’at Islam untuk melakukan amal-amal kebajikan tertentu yang memiliki nilai tambah mengalahkan amal sejenis pada hari lainnya.
Sementara kelompok kedua melhat dari esensi perayaan itu sendiri yang tidak lebih dari kegiatan-kegiatan positif seperti bershodaqoh, membaca qur’an, shalawat dll yang sejak semula memang dianjurkan dan disunnahkan terlepas dari keyakinan amal-amal tersebut memilki nilai lebih karena faktor hari maulid dibanding jika dilakukan pada hari lainnya.
Dengan amat bijak dan sangat cerdas Syekh Ali Mahfudh menulis:
وبما ذكرنا يتبين لك أن الاختلاف بين الفريقين في حسن المولد وقبحها ليس اختلافا حقيقيا في موضوع واحد, وإنما هو اختلاف إسمي تابع لاختلاف موضوع الحكم, فالقسم الذي يحكم عليه الفريق الأول بالذم لا يستحسنه الفريق الثاني, كما أن القسم الذي حكم فيه الفريق الثاني بالحسن لا يذمه الفريق الأول, وبالله تعالى التوفيق.
Terjemahan:
Dari penjelasan saya diatas nampak jelas bahwa perbedaan pendapat dua kelompok dalam menilai baik dan buruknya peringatan maulid bukan perbedaan pendapat secara hakiki akan tetapi hanya namanya saja yang ditimbulkan dari perbedaan sudut pandang sasaran hukum. Maka bagian yang disoroti hukumnya oleh kelompok pertama dengan tercela tidak akan dianggap baik oleh kelompok kedua, sebagaimana pula bagian yang disoroti hukumnya dengan baik oleh kelompok kedua tidak akan dipandang tercela oleh kelompok pertama. (Lihat: Al-Ibda’ fi madloril ibtida’. Hal. 256. Darul kutub 1422 H -2001 M)
Beginilah seharusnya dalam menyikapi tradisi peringatan maulid, bukan seperti orang-orang wahabi lainnya yang tidak memahami konteks pembahasan dan kesimpulan hukum dari Ibnu Taymiyyah.
Bagi umat Islam yang mencintai Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi memperingati maulid, mereka mengajukan pendapat Ibnu Taimiyah tentang maulid, tujuan sebenarnya hanya ingin ‘membandingkan pandapat Ibnu Taymiyyah’ ketika di komparasi dengan pendapat ulama yang memperbolehkan peringatan maulid, dengan maksud memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya yang tidak diperbolehkan dalam memperingati maulid adalah meyakini bahwa kegiatan-kegiatan positif seperti shodaqoh, membaca qur’an, shalawat dll tidak hanya dianjurkan pada hari itu atau memiliki keistimewaan di banding jika dilakukan pada hari lainnya, dan menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW serta mengagungkannya juga tidak hanya muncul pada saat peringatan hari maulid itu, lebih-lebih kegiatan-kegiatan mungkar yang terkadang mewarnai dalam peringatan maulid itu justru akan menciderai esensi dari peringatan maulid itu sendiri. Dalam hal ini, Ibnu Taymiyyah ternyata juga memilki pendapat yang sama.