JAWAB : SAUDARA BUNG MARTIN, ISLAM ITU TIDAK MEMPERSULIT MANUSIA. DALAM URUSAN DUNIAWI SJ MANUSIA BERHAK MENJAMA’/MENGQASHAR SHALATNYA SALAH SATU CONTOHNYA KETIKA ANDA SEDANG ADA DALAM PERJALANAN JAUH, APAKAH ALLAH MENYULITKAN HAMBANYA YG INGIN DEKAT DGNYA??? TIDAK MENJADI SUATU LARANGAN BAGI HAMBANYA UTK MELAKUKAN SHALAT JAMA’/QASHAR BILA MEREKA ADA DALAM POSISI SULIT/SIBUK. APALAGI UTK URUSAN UKHRAWI ( AKHIRAT ). JIKA ANDA MEMANDANG SHALAT JAMA’ HAL PERIHAL YG NEGATIF, SY CONTOHKAN DALAM SUATU KEADAAN DIMANA BUNG MARTIN SEDANG ADA PADA KONDISI SULIT, MISAL ANDA MELEWATKAN SHALAT ZUHUR TANPA DISENGAJA KARENA ANDA TERJEBAK PADA POSISI SULIT DIMANA ANDA TIDAK SEMPAT MELAKUKAN SHALAT TEPAT WAKTU,YG AKHIRNYA MENGHARUSKAN ANDA MENGQASHAR/MENJAMA’ SHALATNYA. APA ANDA AKAN KATAKAN DIRI ANDA SALAH???? SEDANG ALLAH TIDAK PERNAH MENYULITKAN HAMBANYA,. TERLEBIH LEBIH MGA YG MENJAMA’ SHALATNYA karena urusan ruhani/ uhrawi ( akhirat), ITUPUN DALAM KONDISISI TERTENTU YG MEMANG MENGHARUSKAN BELIAU MENJAMA’ SHALATNYA, TENTU KALAU DALAM KONDISI NORMAL,BELIAU SHALAT SPERTI BIASANYA 5 WAKTU DALAM SEHARI SEPERTI SHALAT SUBUH,ZUHUR,ASHAR,MAGRIB,ISYA. DAN SATU HAL BUKU2 YG BELIAU TULIS BUKANLAH BUKU MENGENAI DUNIAWI MELAINKAN BUKU2 UKHRAWI BUKU2 ISLAM.
TENTULAH PEMIMPIN YANG KAMI IKUTI ADALAH PEMIMPIN YG MENGAJARKAN ISLAM SESUNGGUHNYA, KARENA MENURUT RASULULLAH SAW, SATU FIRQAH ISLAM DI AKHIR ZAMAN, YG DIRIDHAI ALLAH SWT ADALAH AHLUL SUNNAH WALJAMA’AH,.ISLAM YG MEMILIKI JAMA’AH, TENTUNYA JAMA’AH TSB MEMILIKI SEORANG IMAM/PEMIMPIN ATAS DASAR PETUNJUK ALLAH SWT.
LALU PERTANYAAN SY PEMIMPIN SEPERTI APA YANG BUNG MARTIN JADIKAN TUNTUNAN DIZAMAN SEKARANG,.KHADAFI KAH?SADAM KHUSEIN KAH? OSAMA BIN LADEN KAH?ZIAUL HAQ KAH?ALI BHUTO KAH??
TANGGAPAN :
ISLAM mengajarkan boleh menjamak salatnya dengan syarat-syarat tertentu, tapi sangatlah tidak masuk akal kalau orang yang kalian anggap pemimpin boleh menjamak shalat demi menulis buku, beda sekali dengan Muhammad SAW, walaupun buku apapun yang ditulis muhammad tidak pernah menjamak shalatnya ketika harus menyampaikan wahyu sekalipun, apalagi kepentingan buku,
baca dan teliti syarat-syarat jamak solat dibawah ini, semoga saudara tidak terus diliputi kebodohan !!!
Jamak adl menggabungkan dua salat dalam satu waktu yaitu menggabungkan salat Dzuhur dgn Ashar dan Maghrib dgn Isya’ baik secara taqdim maupun ta’khir. Adapun utk salat Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya. Hal demikian ini jika didapatkan salah satu keadaan berikut
Menjamak di Arafah secara taqdim begitu juga di Muzdalifah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Mas’ud seraya berkata “Demi Dzat yg tiada Tuhan selain Dia Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan satu salat pun kecuali tepat pada waktunya selain dua salat yg beliau jamak yakni Dzuhur dgn Ashar di Arafah dan Maghrib dgn Isya’ di Muzdalifah.” .
Berdasarkan hadis ini ulama Hanafi berpendapat menjamak salat itu hanya boleh dilakukan dalam dua hal ini yakni di Arafah dan di Muzdalifah. Dan ini pun harus dilakukan dgn berjamaah dgn imam kaum muslimin atau wakilnya. Di luar ini tidak diperkenankan menjamak baik dalam perjalanan maupun ketika berada di rumah.
Menjamak dalam perjalanan. Menjamak dua salat dalam perjalanan baik taqdim maupun ta’khir pada salah satu dari kedua waktu salat itu boleh dilakukan dgn syarat-syarat sebagai berikut
Perjalanan tersebut merupakan perjalanan yg diperbolehkan mengqashar. Akan tetapi menurut ulama Maliki boleh menjamak salat dalam tiap perjalanan sekalipun tidak mencapai jarak qashar.
Berturut-turut dalam mengerjakan kedua salat yg dijamak sehingga antara keduanya itu tidak berselang lama. Yakni lbh kurang selama dua rakaat cepat tetapi di antara kedua salat itu diperbolehkan bersuci azan dan iqamah. Ketentuan atau syarat ini hanya berlaku bagi jamak taqdim tidak bagi jamak ta’khir.
Kedua salat dilakukan secara tertib yakni dimulai dgn salat pertama .
Niat menjama’ dalam salat pertama. Misalnya “Saya salat Zuhur secara qashar dan digabungkan dgn Ashar.”
Perjalanan masih berlangsung. Seandainya terhenti atau kendaraan yg dinaikinya telah sampai dan melewati tempat di mana qashar dibolehkan maka salat kedua tidak boleh dijamaktaqdimkan dgn salat pertama bila salat kedua itu belum dikerjakan. Tetapi menurut ulama Syafi’i jika telah bertakbir utk salat kedua lalu perjalanannya terhenti maka jamak boleh dilakukan dan salat yg telah diniatkan dijamak itu tetap diteruskan. Dan jika salat pertama telah diakhirkan ke waktu salat kedua tetapi sebelum mengerjakan kedua salat perjalanan sudah sampai maka salat pertama menjadi qadha dan dia tidak berdosa krn pengakhiran ini. Dari Muadz bin Jabal “Pada waktu perang Tabuk Nabi saw menjamak salat Dzuhur dgn Ashar sebelum berangkat jika matahari sudah tergelincir tetapi bila berangkat sebelum matahari tergelincir beliau akhirkan salat Dzuhur itu sampai berhenti utk melakukan salat Ashar. Demikian juga dalam salat Maghrib. Jika matahari telah terbenam sebelum berangkat dijamaklah Magrib dgn Isya’. Tetapi jika berangkat sebelum matahari terbenam maka Maghrib diakhirkannya sampai dgn waktu Isya’ lalu ia dijamak dgn salat Isya’.” . Dari Muadz ra berkata “Kami berangkat bersama Nabi saw dalam perang Tabuk maka beliau mengerjakan salat Dzuhur dan Ashar secara jamak dan Magrib dgn Isya’ secara jamak pula.” .
Menjamak di saat hujan turun atau disebabkan adanya salju atau embun.Ulama Maliki dan Hanbali menambahkan juga krn banyaknya lumpur di malam yg sangat gelap. Ulama Hanbali menambahkan pula di saat udara sangat dingin dan banyak salju. Dalam keadaan seperti itu menjamak salat dibolehkan dgn ketentuan sebagai berikut
Hanya boleh menjamak taqdim salat Maghrib dgn Isya’ saja. Tetapi menurut ulama Hanbali boleh juga secara ta’khir yakni salat Maghrib diakhirkan sampai tiba waktu Isya’. Dan ulama Syafi’i membolehkan pula menjamak Zuhur dgn Ashar secara taqdim.
Hujan terus turun ketika menunaikan salat.
Salat jamak dikerjakan dgn berjamaah di masjid kecuali menurut ulama Hanbali yg membolehkan menjamak sekalipun dikerjakan sendirian di rumah.
Imam harus niat menjadi imam dan salat dgn berjamaah krn berjamaah merupakan salah satu syaratnya.
Kedua salat dikerjakan berturut-turut sehingga antara keduanya tidak terpisah dgn waktu lama tetapi boleh membacakan iqamah utk salat kedua.
Kedua salat dikerjakan secara tertib dimulai dgn salat Maghrib terlebih dahulu dan baru kemudian salat Isya’. Hal itu berdasarkan hadis yg diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata “Termasuk sunnah Rasul saw ialah menjamak salat Maghrib dgn Isya’ apabila hari hujan lebat.” . Dalam hadis yg lain disebutkan bahwa Nabi saw menjamak salat Maghrib dgn Isya’ di suatu malam yg turun hujan lebat. . Dari Ibnu Abbas berkata “Nabi saw mengerjakan salat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat Zuhur dgn Ashar dan Maghrib dgn Isya’.” Abu Ayyub berkata “Barangkali pada malam yg hujan?” Ibnu Abbas menjawab “Ya barangkali.” .
Menjamak krn sakit atau udzur. Dibolehkan menjamak sebab sakit atau uzur menurut ulama Hanbali dan Maliki demikian juga menurut al-Mutawalli dari golongan Syafi’i. Tetapi menurut ulama Maliki jamak di sini hanya dalam bentuknya saja dalam arti salat pertama diakhirkan hingga akhir waktu dan salat kedua dimajukan hingga awal waktu. Sehingga seakan-akan kedua salat itu dijama’.
Ulama Hanbali memperluas kebolehan menjamak ini hingga menurut mereka boleh juga bagi orang yg berhalangan seperti wanita yg mengeluarkan darah istihadhah orang beser kencing dan sebagainya bagi orang yg khawatir terjadi bahaya bagi jiwa harta atau kehormatannya juga bagi orang yg takut mendapat kesulitan dalam mata pencahariannya sekiranya ia meninggalkan jamak dan bagi wanita yg sedang menyusui bila sukar baginya utk mencuci kain tiap hendak salat. Semua halangan semacam itu menurut ulama Hanbali memperbolehkan menjamak salat. Demikian itu berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas dia berkata “Rasulullah saw pernah menjamak salat Zuhur dgn Ashar Maghrib dgn Isya’ tanpa ada alasan ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas ‘Apa maksud Nabi saw berbuat demikian itu?’ Ibnu Abbas menjawab maksudnya agar tidak memberatkan umatnya.” . Salat dalam Kendaraan Mengerjakan salat dalam kapal dan sebagainya menurut cara yg mungkin dilakukan adl sah dan gugurlah kewajiban menghadap kiblat. Karena yg menjadi kiblatnya adl arah ke mana kapal atau kendaraan itu melaju. Namun di saat takbiratul ihram tetap di tuntut menghadap kiblat. Dan jika tidak dapat mengerjakan ruku’ dan sujud seperti biasa hendaklah salat dgn isyarat. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata “Rasulullah saw ditanya tentang salat di atas kapal maka jawabnya ‘Salatlah di sana sambil berdiri kecuali jika kamu takut tenggelam’!