Quantcast
Channel: Komentar untuk KabarNet
Viewing all articles
Browse latest Browse all 30460

Komentar di Islam vs Ahmadiyah oleh dedi

$
0
0

KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan

oleh Nurcholish Madjid

Suatu kenyataan sejarah yang amat menarik tentang Nabi
Muhammad saw ialah bahwa sejak beliau tampil sekitar lima
belas abad yang lalu sampai sekarang tidak pernah muncul
tantangan yang cukup berarti atas klaim bahwa beliau adalah
penutup segala Nabi dan Rasul. Di mata beberapa orang
sarjana Islam terkemuka, seperti Fazlur Rahman, kenyataan
itu merupakan bukti dan dukungan bagi pandangan Islam bahwa
Nabi Muhammad saw adalah benar-benar yang terakhir dalam
deretan mata rantai para Nabi dan Utusan Allah sepanjang
sejarah ummat manusia.

Konsep bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan
Rasul adalah cukup sentral dalam sistem kepercayaan Islam.
Dan implikasi konsep itu cukup luas dan penting. Hal itu
terbukti antara lain dari adanya beberapa kontroversi yang
memakan korban akhir-akhir ini di kalangan ummat Islam,
seperti pengkafiran kaum Ahmadiyah oleh Rabithat al-Alam
al-Islami dengan dampak pengucilannya di Pakistan. Juga,
yang lebih dramatis, sikap permusuhan yang sengit pemerintah
Republik Islam Iran terhadap kaum Baha’i (jika memang kaum
Baha’i masih dapat dipandang sebagai bagian dari Islam; jika
tidak, maka penyebutannya disini menjadi tidak relevan).

Namun agak mengherankan bahwa meskipun doktrin tentang Nabi
Muhammad saw itu begitu penting dan sentral dengan implikasi
yang luas dan asasi, sedikit sekali para ahli tafsir
al-Qur’an yang memberi perhatian dan ulasan kepada masalah
pokok ini ketika menjabarkan makna firman Allah yang
terkait. Bahkan Sayyid Qutb, seorang ahli tafsir al-Qur’an
zaman modern dengan karyanya yang berjilid-jilid, Fi Dhilal
al-Qur’an, ternyata membahas masalah ini hanya secara
sepintas lalu saja. [1] Tidak bedanya dengan Sayyid Muhammad
dengan al-Thaba’ Thaba’i, penulis kitab tafsir al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an yang juga berjilid-jilid, juga menyinggung
masalah ini secara sekedarnya saja. [2]

Para penafsir al-Qur’an dari zaman modern ini dan yang
berlatar belakang pengalaman dalam budaya modern justru
lebih menyadari implikasi penting pandangan bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan
referensi silang dalam kitab tafsirnya, Muhammad Asad,
misalnya, menunjukkan makna yang lebih luas dan fundamental
dari pandangan itu, dengan implikasi yang juga luas dan
fundamental. Makalah ini banyak menggunakan pendekatan
Muhammad Asad dalam pengembangan argumennya, disamping
sumber-sumber lain yang relevan.

Karena pokok pembahasan disini dalam beberapa segi
menyangkut masalah ‘aqidah (simpul keimanan) maka tentu
tidak dapat diremehkan signifikansinya. Karena itu
pengembangan lebih lanjut argumen disini oleh mereka yang
berwenang secara ilmiah akan sangat disambut gembira.

CONTOH KLAIM KENABIAN: KASUS GHULAM AHMAD DAN JOSEPH SMITH

Sebagai gambaran nyata, di zaman modern ini terdapat
beberapa orang pengaku kenabian. Kehadiran mereka tidak
memiliki dampak seperti yang diharapkan dari yang
benar-benar Nabi dan Rasul, namun mereka mempunyai pengikut.
Di India pernah muncul Mirza Ghulam Ahmad yang dipandang
oleh para pengikutnya (versi Qadianis, dan bukan bersi
Lahore) sebagai seorang Nabi. Namun dalam beberapa
penjelasan terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza adalah
jenis “kenabian kecil” (minor prophethood), karena ia
“hanya” bertugas meneruskan dan menghidupkan kembali pesan
suci Nabi besar Muhammad saw. Keterangan mengenai hal ini
dari seorang tokoh gerakan Ahmadiyah terbaca demikian:

Klaim Hazra Mirza Ghulam Ahmad (salam-sejahtera atasnya),
ialah bahwa Tuhan telah membangkitkan dia untuk membimbing
dan memberi petunjuk ummat manusia; bahwa dia adalah
al-Masih yang diramalkan dalam Hadits-hadits Nabi Besar
(Muhammad saw) dan Mahdi yang dijanjikan dalam sabda-sabda
(Nabi Muhammad saw); bahwa nubuwat (ramalan suci) yang
termuat dalam berbagai kitab suci agama tentang tampilnya
seorang utusan Tuhan pada zaman akhir juga telah dipenuhi
dalam dirinya; bahwa Tuhan telah membangkitkannya untuk
membela dan menyebarluaskan Islam di zaman kita; bahwa Tuhan
telah memberinya karunia pemahaman mendalam tentang
al-Qur’an, dan mewahyukan kepada dia maknanya dan
kebenarannya yang paling mendalam; bahwa Dia telah
mewahyukan kepadanya berbagai rahasia hidup salih. Dengan
karyanya, pesannya, dan teladannya, dia mengagungkan Nabi
Besar (Muhammad saw) dan membuktikan keunggulan Islam atas
agama-agama yang lain. [3]

Di Amerika muncul seorang bernama Joseph Smith, yang oleh
para pengikutnya dari Kristen sekte “The Church of Jesus
Christ of Latter-Day Saint” (kaum “Mormon”) juga dianggap
sebagai Nabi. Tapi, sama halnya dengan hubungan Mirza dengan
Nabi Muhammad saw, Smith pun mengaku “hanya” meneruskan dan
menghidupkan kembali ajaran Isa al-Masih as, khususnya
berkenaan dengan kitab sucinya yang “hilang,” yang
disampaikan oleh Isa al-Masih kepada penghuni kuno kedua
benua Amerika (Utara dan Selatan), yaitu Buku Mormon (The
Book of Mormon). Suatu penuturan dalam pengantar Buku Mormon
itu terbaca demikian:

Buku Mormon adalah suatu jilid dari kitab suci yang
sebanding dengan Bibel. Ia merupakan catatan urusan Tuhan
dengan penghuni kuna kedua benua Amerika dan, sebagaimana
Bibel, memuat pemenuhan gospel yang abadi.

Buku itu ditulis oleh banyak Nabi kuna dengan ruh kenabian
dan wahyu. Kata-kata mereka, tertulis pada lempengan-
lempengan emas, dikutip dan diringkas oleh seorang nabi dan
ahli sejarah, bernama Mormon… [4]

Puncak kejadian yang tercatat dalam Buku Mormon ialah
kependetaan pribadi Tuhan Yesus Kristus di kalangan kaum
Nephites segera setelah kebangkitannya kembali. Buku itu
mengemukakan doktrin-doktrin gospel, memberi garis besar
rencana penyelamatan, dan memberi tahu manusia apa yang
harus mereka kerjakan untuk memperoleh kedamaian dalam hidup
ini dan keselamatan abadi dalam hidup yang akan datang.

Setelah Mormon menyelesaikan tulisannya, ia menyerahkan
cerita itu kepada anaknya Moroni, yang menambahkan beberapa
kata dari dirinya sendiri dan menyembunyikan
lempengan-lempengan tadi di bukit Cumorah. Pada tanggal 21
September 1323, Moroni itu sendiri, yang saat itu merupakan
makhluk yang dimuliakan dan dibangkitkan kembali,
menampakkan diri pada Nabi Joseph Smith dan mengajarinya
berkenaan dengan catatan kuna itu serta penerjemahannya yang
mesti terjadi ke dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya lempengan-lempengan tersebut diberikan kepada
Joseph Smith, yang menerjemahkannya dengan anugerah dan
kekuatan dari Tuhan. Catatan itu sekarang diterbitkan dalam
banyak bahasa sebagai saksi baru dan tambahan bahwa Yesus
Kristus adalah Putera dari Tuhan yang hidup dan semua orang
yang bersedia datang kepadanya serta menaati hukum-hukum dan
ajaran-ajaran gospelnya akan terselamatkan.

Tapi, seperti telah disinggung, dan sebagaimana telah
disaksikan oleh sejarah, kehadiran baik Mirza maupun Smith
tidak meninggalkan dampak sosial dan spiritual dengan
keluasan dan kedalaman seperti yang biasanya ditinggalkan
oleh para Nabi terdahulu. Karena itu bagi hampir seluruh
kaum Muslim klaim Mirza akan kenabian itu harus ditolak
(atau ditafsirkan kembali seperti dilakukan oleh sebagian
pengikutnya sendiri dari versi Lahore); dan bagi hampir
semua kaum Kristen klaim Joseph Smith pun ditolak, dan kaum
Mormon diakui hanya sebagai salah satu saja dari puluhan
atau ratusan sekte dan denominasi dalam agama Kristen.

Klaim kenabian atau, apalagi, kerasulan, akan menimbulkan
masalah dalam masyarakat, karena logika setiap klaim
kenabian atau kerasulan tentu menuntut kepada setiap orang
untuk menerima, membenarkan dan “beriman” kepada pengaku
itu. Ghulam Ahmad, misalnya, memperlihatkan gejala ini,
seperti dengan jelas bisa dipahami dari pernyataan berikut:

Setelah secara singkat menggambarkan klaim al-Masih Yang
Dijanjikan (the Promised Messiah), Pendiri Gerakan
Ahmadiyah, saya ingin menerangkan kriteria umum yang dengan
itu kebenaran pengaku (kenabian) serupa itu bisa dinilai.
Jika telah terbukti bahwa pribadi tertentu mendapat tugas
Maki sebagai Utusan Tuhan, maka menjadi wajib atas setiap
orang untuk menerima pengakuannya itu. [5]

Kaum Mormon pun mempunyai sikap yang serupa, sebagai
konsekuensi kepercayaan mereka bahwa Joseph Smith adalah
seorang Nabi. Dalam pengantar Buku Mormon dikutip perkataan
kita sendiri, demikian: Berkenaan dengan catatan ini Nabi
Joseph Smith berkata: “Saya telah katakan kepada para
saudara bahwa Buku Mormon adalah buku yang paling benar dari
semua buku yang ada di muka bumi, dan batu dasar agama kita,
dan seseorang akan menjadi lebih dekat kepada Tuhan dengan
menaati ajaran-ajaran buku itu daripada dengan buku lain
manapun.” [6]

Kegawatan muncul karena setiap sikap menerima atau menolak
sesuatu dari pesan Ilahi akan dengan sendirinya bersangkutan
dengan masalah keselamatan atau kesengsaraan. Maka logika
pengakuan kenabian, lebih sering daripada tidak, mengundang
percekcokan tajam, sebab terjadi dalam kerangka kemutlakan
(ultimacy). Karena itu pengaku kenabian tentu menghasilkan
sistem kepengikutan yang eksklusifistik, yang menampik
“orang luar” untuk menyertai mereka dalam panji keselamatan
dan kebahagiaan. Dalam penampilannya yang ekstrem, seperti
ditunjukkan oleh berbagai perkumpulan yang bersifat kultus
(cultic) di banyak negara (terutama Amerika), harapan
keselamatan yang dipusatkan dan digantungkan kepada pribadi
seorang tokoh akan melahirkan gejala-gejala anti sosial dan
penuh permusuhan. Maka agaknya yang diperlukan oleh manusia
zaman modern bukanlah tokoh yang mengarah kepada penampilan
bergaya cultic, melainkan yang manusiawi biasa, terbuka dan
tampil dalam gaya dialogis dengan anggota masyarakat yang
lebih luas dalam semangat persamaan hak dan kewajiban. Dan
hal ini memerlukan suatu perangkat kepercayaan yang kukuh
bahwa sekarang tidak ada lagi yang dibenarkan mengklaim
sebagai “petugas” dari Tuhan.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 30460

Trending Articles